1 Maret 2009

Surga di Atap Nusa Tenggara





Oleh Hartono



Agustus 1991 - Angin muson tenggara yang kering masih berhembus di Pulau Lombok, menghadirkan kemarau panjang dengan matahari terik menyengat. Medan berpasir di tengah savana menjadi tantangan hebat bagi mereka yang telah membulatkan tekad untuk mendaki hingga puncak. Setahun berselang, setelah Gunung Rinjani diresmikan sebagai taman nasional.

Langit cerah berawan ketika kami baru saja meninggalkan pos pendakian di Desa Sembalun. Pagi itu udara masih sejuk, suhu belum melampaui 240 Celcius. Kerucut strato Rinjani (3.726 m dpl.) menjulang tinggi di antara luas hamparan savana (padang rumput yang luas membentang diselingi sedikit pepohonan). Dengan berjalan agak lamban kami terus merambah ketinggian, melintasi jalur pendakian yang sebaiknya tak menjadi pilihan pada musim itu, yaitu jalur Sembalun – Plawangan – Puncak Rinjani. Ya, sebuah jalur pendakian miskin air sebagai pengaruh musim kering. Kami menyusuri punggung gunung, sesekali memotong kokok (sungai; istilah lokal) yang hanya berupa lembah-lembah kecil kerontang, tak lagi memiliki aliran air.

Sekira sembilan jam kemudian kami tiba di Plawangan, tempat di mana para pendaki biasa mendirikan tenda atau tempat peristirahatan. Plawangan (2.656 m dpl.) merupakan camp terakhir sebelum melakukan summit attack ke Puncak Rinjani. Mengikuti kebiasaan, kami pun memutuskan untuk bermalam di sana. Beberapa tenda sudah berdiri beberapa saat menjelang senja tiba.

Menurut penduduk di Sembalun, di Plawangan masih terdapat sumber air. Akan tetapi, meskipun telah melakukan berbagai usaha pencarian sumber air itu tak pernah kami temukan. Tentu sudah bisa ditebak, malam itu kami lalui dengan dahaga yang luar biasa. Untungnya, rasa lelah membuat kami cepat terlelap dan melupakannya.

Selepas terjaga keesokan harinya, pencarian air kembali dilanjutkan. Kami berpencar menyusuri lembah-lembah dan dinding patahan di sekitar Plawangan. Nihil! Pencarian selama dua jam itu tak mempertemukan kami dengan setetes air. Keadaan itu membuat rencana pendakian terpaksa kami tangguhkan.

Kami memutuskan untuk turun ke Danau Segara Anak (2.008 m dpl.) yang harus ditempuh dalam 4, 5 jam perjalanan. Padahal, waktu tempuh ke Puncak Rinjani hanya sekira 5 jam lagi. Apa boleh buat, kami tak berani berspekulasi untuk mendaki tanpa air, sebab di medan berpasir yang kering berdebu, ancaman dehidrasi membayang setiap waktu.

Lewat tengah hari, sampailah kami di tepi danau itu. Betapa segar merasakan dingin air melintas di kerongkongan. Dahaga terlepas dengan mereguk air danau yang tawar, meskipun belerang yang terkandung di dalamnya masih jelas terasa. Sejenak kami melepas lelah sambil melihat kepakan manis sayap-sayap burung belibis. Ritual istirahat kami lanjutkan sambil memancing ikan dengan kail yang kami beli di Mataram. Danau itu memang sengaja ditanami ikan oleh pemerintah daerah Nusa Tenggara Barat. Salah satu jenis yang menjadi penghuninya adalah mujair dan ikan mas karper. Beberapa di antaranya segera menjadi penawar perut lapar kami.
***
Pukul 01.20 WITA, kami kembali berjalan menerobos dinginnya udara pagi, menyusuri jalan setapak yang menanjak dengan kisaran kemiringan 400–800, menuju Plawangan, lalu mendaki ke puncak. Keadaan alam terus berubah seiring bertambahnya ketinggian. Dari Plawangan, variasi vegetasi semakin berkurang, yang ada hanyalah edelweis dan rerumputan. Selanjutnya kami hanya melihat onggokan batu-batu dan hamparan pasir tanpa vegetasi sama sekali. Karakteristik medan tersebut sangat berpengaruh terhadap kecepatan pendakian. Kadar oksigen terasa semakin tipis, sementara pengaruh gravitasi terasa jauh lebih kuat, seolah berusaha menarik kami ke bawah.

Delapan jam sejak meninggalkan Danau Segara Anak, akhirnya kami berhasil menggapai puncak. Langit cerah, tetapi suhu setinggi 300 Celcius mulai membuat kami gerah. Kulit wajah terasa mulai mengelupas. Namun, terik panas dan lelahnya perjalanan itu jelas mendapatkan pengganti yang setimpal.

Keindahan alam terbentang sejauh mata memandang. Kami serasa belum percaya, Tuhan memberikan kesempatan untuk menyaksikan pesona surga di atap Nusa Tenggara. Setiap sudut yang terlihat seolah bercerita tentang misteri-misterinya, juga tentang sejarah panjang yang membentuk dan menghadirkannya.